Wajah Demokrasi Kampus

Suaralangitnews.com – Berbicara mengenai kampus, tidak akan pernah berujung. Sebagai wadah pencetak generasi intelektual, kiranya memiliki privilege. Mahasiswa sebagai insan yang berproses dalam menuntut ilmu di perguruan tinggi, sering kali tersemat sebagai agent of change dan agent of social control.

Bagi segelintir mahasiswa ketika berbicara tentang politik dalam ruang lingkup Perguruan Tinggi atau Kampus, sistem demokrasi menjadi pilar penting dalam upaya membangun kesadaran kritis sivitas akademik.

Arief Budiman pernah mengatakan bahwa mahasiswa merupakan kelompok termuda dalam jajaran cendekiawan. Artinya, mahasiswa tidak hanya menyelesaikan kewajiban dalam menyelesaikan program studinya, melainkan mahasiswa juga punya kaidah formal untuk menjadi agen perubahan sosial, hadir di tengah-tengah problematika sosial, dan turun guna menuntaskannya.

Tidak heran sekarang masih banyak kampus yang demokrasinya pada transisi jalan di tempat, berlarut-larut dan bahkan bisa dibilang kemunduruan. Ada hal yang menarik dari tulisan ini, yakni kampus sebagai miniatur negara, lantas bagaimana sebenarnya konsep dari kampus sebagai miniatur negara?

Apakah bisa kampus menginternalisasikan prinsip-prinsip kenegaraan secara ideal? atau jangan-jangan hanya sekadar klise demi mendulang nama baik almamater itu sendiri?

Pertama, dalam kampus dapat dipersepsikan sebagai insan akademis yang akan melanjutkan titah generasi bangsa ini dimana mereka disebut sebagai mahasiswa. Kedua, untuk mengkaji secara lebih mendalam di negara kita sendiri, yakni Indonesia yang dengan bangga menerapkan sistem demokrasi pada dimensi politik kenegaraan. Tentu hal inilah yang menjadi inisiasi berdirinya lembaga-lembaga instrumental di negara, berdasarkan teori Montesquieu dikenal dengan tiga pembagian kekuasaan ; legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Ternyata, di dunia kampus saat ini, juga demikian terdapat pola yang membagi kekuasaan menjadi tiga, di mana eksekutif dipegang oleh Badan Eksekutif Mahasiswa, legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa, dan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Mahasiswa. Meskipun dalam kenyataannya, tidak semua perguruan tinggi dapat mengoptimalkan kekuasaan yudikatif secara holistik.

Abraham Lincoln menyebutkan demokrasi sebagai kekuasaan rakyat, kemudian termaktub secara mantap melalui tagline “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ketika definisi tersebut di posisikan pada tataran perguruan tinggi, apakah konsep dari Abraham Lincoln berubah bunyi menjadi “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa”. Yang terkonklusikan juga sebagai kekuasaan mahasiswa?

Jika diartikan secara ringkas perlu diingat juga, bahwa dalam dunia kampus terdapat kekuasaan struktural yang diampu oleh para civitas akademika. Artinya, civitas akademika di sini tidak hanya boleh menjadi agen pasif, melainkan hadir sebagai agen aktif tanpa unsur mengintervensi pembelajaran politik di ranah kemahasiswaan. Lain lagi, problematika pada konstelasi kehidupan mahasiswa adalah kurang tertariknya mahasiswa terhadap dinamisasi kehidupan demokratis di kampus. Asumsi ini terlihat bagaimana kecenderungan mahasiswa terhadap stabilisasi politik di perguruan tinggi, cenderung rendah.

Berangkat dari titik tersebut, suatu teori mengenai demokrasi prosedural dan demokrasi substansial yang dicetuskan oleh Zaprulkhan, mengatakan Bahwa yang dimaksud dengan demokrasi prosedural dapat tercermin pada ajang regenerasi kepemimpinan di segala sektor yang ada, mulai dari tahap awal sampai dengan terpilihnya seorang pemimpin tersebut. Kalau dikorelasikan pada dunia kampus, maka ajang kontestasi politik berbentuk pemilu dalam proses memilih pemimpin organisasi kampus maupun pengurus orgasnisasi mahasiswa.

Beda halnya ketika menerjemahkan demokrasi substansial, di mana kehidupan pada suatu sistem atau konstelasi sistem, memang menekankan pada nilai – nilai demokrasi, macam kebebasan berpendapat, musyawarah, dan lain sebagainya. Barang kali, inilah konsensus yang perlu menjadi atensi bersama, kehidupan demokrasi di kampus dapat diwujudkan secara kolektif, manakala tumbuh kesadaran secara kolektif pula.

Diperlukan formula – formula bertajuk improvement persuasive dalam menghadapi polemik ini. Barangkali, perlu adanya kerja sama integratif antar komponen – komponen yang ada, baik mahasiswa itu sendiri melalui Organisasi Kemahasiswaan maupun civitas akademik sebagai struktural. Dalam hal ini, organisasi mahasiswa patut memberikan sosialisasi lebih komprehensif lagi, tidak hanya sekadar berhenti pada sukses program kerja yang sifatnya legal – formal. Juga menjadikan program kerja sebagai instrumen yang dapat menjembatani antara kepentingan inheren mahasiswa secara lebih holistik.

Proses belajar pada perguruan tinggi, hendaknya perlu pula menerapkan konsep demokrasi. Bukan hanya terbatas pada kehidupan berorganisasi mahasiwa. Sangat disayangkan, bilamana dosen sebagai pengampu pembelajaran, malah cenderung bersikap otoriter dalam proses belajar. Harus mematuhi peraturan yang ada, tanpa alasan yang jelas. Ingat, mahasiswa tidaklah sebatas belajar hal-hal formal yang terlabeli pada setiap mata kuliah. Mahasiswa perlu mendapatkan suplemen pendidikan demokratisasi yang melalui proses-proses musyawarah.

Terakhir, sebagai penutup tak elok rasanya bila segenap mahasiswa dalam kancah perguruan tinggi, melabeli dirinya sebagai kaum cendekiawan. Kemudian tidak ingat atau jangan-jangan tidak lupa terhadap fungsi yang melekat dalam dirinya. Mahasiswa juga bagian dari kelompok masyarakat, mahasiswa akan kembali pada masyarakat, mahasiswa pula akan menjadi pioneer dalam masyarakat itu sendiri. Seperti kata Najwa Sihab, “Ilmu jangan hanya dijadikan objek hafalan. Ilmu itu untuk memahami dan menuntaskan persoalan.





Pos terkait