Tangan Dingin Datuk Panglimo Dalam Membawa Pacu Jalur Mendunia di Era Digital

Suaralangitnews.com – Di tengah derasnya arus modernisasi—ketika banyak warisan lokal mulai ditinggalkan generasinya sendiri, Kuantan Singingi (Kuansing) justru menghadirkan sebuah pengecualian yang membanggakan.

Pacu Jalur, tradisi lomba dayung khas Melayu Riau, tidak hanya bertahan, tetapi justru semakin mendunia. Dan di balik kebangkitan baru tradisi ini, satu nama tak bisa dilepaskan dari sejarahnya: Suhardiman Amby, bergelar Datuk Panglimo Dalam.

Kecintaan Suhardiman terhadap Pacu Jalur bukan cinta biasa. Ia dijuluki “gila pacu jalur”—bukan sebagai hinaan, tetapi sebagai bentuk pengakuan atas totalitasnya dalam merawat dan menghidupkan budaya lokal.



Ingat saat debat Pilkada 2024? Lawan-lawan politiknya seperti Halim dan Adam Sukarmis mencibir kebiasaannya menggelar festival Pacu Jalur hampir setiap bulan.

Mereka menyebutnya pemborosan anggaran dan meragukan dampak ekonominya bagi daerah. Namun Suhardiman tak goyah. Ia yakin bahwa budaya adalah investasi jangka panjang, bukan proyek instan yang hanya dinilai dari besarnya alokasi APBD.

Baginya, saat warga kembali ke sungai dan mendayung bersama, yang melaju bukan hanya perahu jalur, tetapi juga identitas, solidaritas sosial, dan kebanggaan kolektif.

Salah satu momen paling ikonik terjadi di final Pacu Jalur 2024 di Tepian Narosa. Sebuah helikopter paralayang melintas membawa spanduk bergambar Adam Sukarmis—seolah menyindir bahwa masa jabatan Suhardiman tinggal menghitung hari.

Tapi ia hanya tersenyum, tak terusik. Di bawah tribun, puluhan ribu pasang mata terpukau menyaksikan jalur-jalur gagah berpacu membawa semangat kampung. Dan hasilnya membungkam segala nyinyiran: Suhardiman kembali terpilih sebagai Bupati Kuansing untuk periode kedua dengan kemenangan telak.

Di Pangean, ia bahkan sempat bertaruh nyawa. Saat mengikuti kegiatan Pacu Jalur, perahu rombongannya karam di Sungai Kuantan, insiden yang juga menimpa perahu berendo dan kemudian viral di berbagai media nasional.

Namun, alih-alih menjadi aib, insiden itu justru menjadi “iklan gratis” bagi tradisi ini. Bahkan setelah nyaris kehilangan nyawa, Suhardiman tetap hadir—tetap mendayung semangat rakyatnya.

Di bawah kepemimpinannya, Pacu Jalur tidak lagi sekadar tradisi lokal, melainkan telah menjelma menjadi fenomena digital global. Ia mendorong masyarakat untuk memviralkan Pacu Jalur di TikTok, Facebook, YouTube, hingga Instagram. Salah satu fenomena paling mencuri perhatian adalah “Aura Farming”—gaya tarian anak-anak di ujung perahu yang jenaka, lincah, dan kompak. Tarian ini bukan hasil koreografi, melainkan ekspresi murni dari semangat budaya rakyat.

Namun, jangan keliru: Pacu Jalur bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah ritual spiritual. Dari pencarian kayu jalur di hutan yang diawali upacara adat, hingga ritual “buka jalur” sebelum perlombaan dimulai, semuanya menunjukkan bahwa ini bukan sekadar lomba, tapi upacara budaya yang membentuk nilai, karakter, dan rasa memiliki.

Pacu Jalur juga mencerminkan semangat gotong royong. Setiap jalur bisa mencapai panjang 40 meter, diawaki hingga 60 orang, dan dihias megah dengan simbol kejayaan kampung. Tak ada satu orang pun yang bisa membawa jalur menuju kemenangan sendirian.

Semua harus serempak, kompak, dan ikhlas. Inilah filosofi sosial kita: maju bersama atau karam bersama, sebuah nilai yang semestinya menjadi inspirasi dalam membangun negeri.

Suhardiman Amby tentu bukan pemimpin sempurna. Namun satu hal tak terbantahkan: ia telah mengembalikan roh Pacu Jalur kepada rakyatnya. Ia tidak menjadikannya sekadar seremoni tahunan, tetapi sebagai gerakan budaya yang hidup dan berkembang. Ia membuktikan bahwa warisan tradisi bisa tetap relevan, bahkan mendunia, asal dijaga dengan cinta dan dijalankan dengan visi.

Di tengah derasnya arus globalisasi yang sering mencabut akar budaya, Pacu Jalur justru menunjukkan arah sebaliknya: dari sungai kecil di Riau, melaju menuju panggung dunia. Dan semua itu dimulai dari satu hal sederhana: keberanian untuk percaya pada tradisi sendiri. (*)
Penulis: Dowi, Budayawan Riau



Pos terkait