Informasi sains salah (misinformasi dan disinformasi) dan pengetahuan usang, serta problematik tentang seksualitas menyebar luas lewat media massa dan media sosial.
Mereka yang mengaku diri sebagai akademisi dan peneliti pun turut serta menyebarkannya.
Akademisi dan peneliti yang melakukannya bukan hanya satu, melainkan melimpah. Liputan saya yang menganalisis 145 paper soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menemukan, bahwa komunitas ilmiah juga menyebarkan informasi salah dan miskonsepsi lewat makalah ilmiah.
Ada narasi bahwa teori gen gay runtuh dan gay bisa berubah, yang dibangun hanya berdasarkan kasus dua gay yang ingin menikah.
Ada pula wacana lokalisasi hak asasi yang dipakai untuk menjustifikasi argumen LGBT tidak bisa memperoleh kesetaraan di Indonesia.
Meski luasnya penyebaran informasi salah dan pengetahuan usang tentang seksualitas itu cukup memprihatinkan, hal itu bisa dianggap “wajar”, mengingat sikap Indonesia yang secara umum masih tidak ramah terhadap LGBT.
Hal yang lebih menyesakkan, lewat proses liputan, saya menemukan bahwa ada kemungkinan individu LGBT sendiri masih percaya informasi salah dan pengetahuan usang itu, serta turut mengamplifikasinya.
Salah satu contoh pernyataan yang mungkin berasal dari pertanyaan alasan menjadi gay adalah “Gue jadi gay karena ibu gue over-protektif banget. Waktu kecil gue dimanja kedua orangtua dengan banyak membelikan mainan yang sama dengan adik perempuan gue.”
Dua contoh pernyataan lain adalah “Aku jadi gay, karena enggak tahan dengan sikap otoriter ayah. Aku dididik sangat keras oleh ayah”, serta “Aku jadi gay, karena ayahku galak dan temperamental, sering memarahi ibu, aku, dan adik.”
Pernyataan lain menyangkut pengaruh pergaulan. Salah satu responden mengatakan, “Gue gay, karena sering bergaul dengan gay dan respect aja dengan negara Barat yang melegalkan hubungan percintaan gay.”
Dengan begitu, representasi LGBT dalam komunitas ilmiah bisa meningkat dan harapannya bisa mendorong inklusivitas. Pasti, perlu keterbukaan pihak lain untuk mewujudkannya. Lembaga riset, misalnya, seberapa ramah kepada LGBT. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)–pernah menyusun indikator kesetaraan gender berdasarkan jumlah persentase ilmuwan perempuan. Saat ini, perluasan indikator kesetaraan itu perlu dilakukan.
Penulis: Emellianda