Ketika Pohon Beringin Belajar Rendah Hati: Catatan Untuk Golkar Riau

Suaralangitnews.com – Kekalahan Syamsuar dalam Pilkada Riau 2024 menjadi penanda penting dalam sejarah politik lokal. Untuk pertama kalinya sejak reformasi 1998, Partai Golkar kehilangan kekuasaan yang telah begitu lama melekat di Bumi Lancang Kuning.

Namun dari kekalahan itu, muncul satu pelajaran penting: bahkan pohon beringin yang besar pun harus belajar rendah hati—belajar mendengar, berbenah, dan menyesuaikan diri dengan arah zaman.

Runtuhnya Hegemoni Lama
Sejak awal reformasi, Partai Golkar adalah simbol kekuasaan politik Riau. Dari Saleh Djasit, Rusli Zainal, Anas Maamun, hingga Syamsuar, semua berasal dari akar yang sama: beringin yang kokoh. Tapi sejarah politik mengajarkan, kekuasaan yang lama tanpa pembaruan selalu berakhir dengan kejenuhan publik.

Pilkada Riau 2024 menjadi momen dramatis ketika kekuatan yang selama ini tak tergoyahkan akhirnya runtuh. Golkar kehilangan suara di sebelas kabupaten/kota—termasuk basis kuatnya di Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, dan Rokan Hilir. Hanya Kabupaten Siak yang masih setia, itupun dengan penurunan suara signifikan.

Kekalahan Syamsuar bukan hanya kekalahan seorang kandidat, tetapi juga runtuhnya pola politik patronase yang selama ini menopang kejayaan Golkar.
Dalam literatur politik, fenomena ini dikenal sebagai incumbency curse—kutukan petahana (Klasnja & Titiunik, 2017).

Kekuasaan panjang, ketika tidak diimbangi inovasi dan regenerasi, justru menjadi liabilitas elektoral. Pemilih tidak lagi memilih karena loyalitas, melainkan karena evaluasi kinerja. Politik pun berubah dari orientasi patronase menjadi orientasi rasionalitas.

Transformasi Perilaku Pemilih
Pemilih Riau hari ini bukan lagi masyarakat yang tunduk pada simbol-simbol lama. Mereka adalah generasi muda yang berpendidikan, melek digital, dan kritis terhadap politik transaksional. Jaringan patron-klien yang dulu menjadi mesin suara kini kehilangan daya karena masyarakat semakin mandiri secara ekonomi dan informasi. Dalam konteks ini, kekalahan Golkar adalah konsekuensi logis dari perubahan perilaku politik masyarakat.

Pemilih muda tidak melihat partai sebagai satu-satunya saluran aspirasi, tetapi sebagai institusi yang harus diuji komitmennya terhadap transparansi dan akuntabilitas. Mereka menolak feodalisme politik yang masih hidup di balik struktur partai tua.

Seperti dicatat oleh beberapa studi global, lemahnya patronase dan meningkatnya pendidikan selalu memperkuat rasionalitas pemilih (Kitschelt & Wilkinson, 2007). Itulah yang kini terjadi di Riau. Demokrasi lokal sedang naik kelas, dan Golkar Riau menjadi salah satu “korban” dari kematangan politik warganya sendiri.

Aklamasi Yulisman: Awal dari Refleksi
Setelah badai kekalahan itu, Golkar Riau mencoba bangkit. Musda XI Partai Golkar Riau yang digelar awal November 2025 menjadi momentum konsolidasi besar.

Melalui proses aklamasi, Yulisman terpilih sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Riau periode 2025–2030. Berita dari Ranah Riau menulis bahwa Golkar kini “menatap babak baru dengan semangat kebersamaan.” Sementara Bualbual.com menyoroti visi Yulisman yang “tegak lurus” dan berkomitmen “mengibarkan kembali kejayaan beringin di Bumi Lancang Kuning.”

Dalam pidato kemenangannya, Yulisman menyampaikan pesan yang kini viral di kalangan kader:

“Tidak boleh ada orang yang mengatakan Golkar Riau ini milik si A, si B, atau si C. Kita semua adalah pemilik Golkar.”

Pernyataan ini bukan sekadar formalitas. Ia adalah deklarasi moral untuk mengakhiri faksionalisme internal yang selama ini melemahkan partai. Selama dua dekade terakhir, konflik antar-elit dan tarik-menarik kepentingan menjadikan Golkar Riau lebih sibuk mengurus diri sendiri ketimbang rakyat. Kini, semangat kebersamaan menjadi titik awal bagi proses penyembuhan itu.

Kebersamaan Bukan Sekadar Slogan
Kebersamaan yang digaungkan Yulisman harus dimaknai lebih dari sekadar jargon musda. Ia harus menjadi kerangka kerja politik baru—politik yang inklusif, partisipatif, dan berbasis meritokrasi.

Golkar tidak boleh lagi menjadi partai yang “dimiliki” segelintir elite, melainkan rumah besar bagi kader yang berprestasi dan berpikir ke depan.

Kata “tegak lurus” yang menjadi slogan Yulisman bisa dimaknai sebagai komitmen ganda: tegak terhadap garis partai nasional, dan lurus terhadap etika politik lokal. Artinya, loyalitas tidak boleh membutakan integritas. Konsolidasi bukan berarti keseragaman mutlak, tetapi kesepakatan bersama untuk menegakkan nilai.

Jika Golkar ingin kembali dipercaya, maka kebersamaan itu harus diwujudkan dalam transparansi partai, regenerasi kader, dan keberanian melakukan otokritik. Politik baru menuntut partai yang mau belajar dari kesalahan, bukan menutupinya dengan seremoni.

Ujian Kebangkitan
Tiga tantangan besar menanti Yulisman dan Golkar Riau:

1. Regenerasi dan inklusi kader muda. Golkar harus membuka ruang nyata bagi generasi baru politik Riau—baik di internal partai maupun di ruang publik. Regenerasi tidak boleh bersifat simbolik.

2. Modernisasi organisasi. Di era digital, Golkar harus mampu menata ulang sistem komunikasi politik, mengelola transparansi keuangan, dan membangun citra berbasis gagasan.

3. Etika dan integritas. Kepercayaan publik hanya akan pulih jika partai menunjukkan wajah bersih. Ini bukan semata urusan hukum, tetapi kesungguhan moral dalam menegakkan disiplin politik yang sehat.

Jika ketiga tantangan ini tidak dihadapi dengan serius, maka “semangat kebersamaan” hanya akan menjadi retorika musiman. Tapi jika dijalankan dengan konsisten, maka Golkar Riau berpeluang besar menjadi laboratorium pembaruan politik di Indonesia bagian barat.

Ketika Beringin Belajar Rendah Hati
Sejarah politik sering memberi pelajaran pahit bagi partai yang merasa terlalu besar untuk berubah.

Golkar Riau kini dihadapkan pada momen kontemplatif: antara nostalgia kejayaan dan panggilan zaman untuk berbenah. Pohon beringin yang dulu tegak tinggi kini harus belajar rendah hati—mendengar suara angin perubahan, menunduk agar tidak patah diterpa badai demokrasi. Dalam kerendahan hati itulah kekuatan baru bisa tumbuh: kekuatan moral, solidaritas kader, dan kedekatan dengan rakyat.

Jika Golkar benar-benar menjadikan kebersamaan sebagai landasan dan bukan sekadar alat konsolidasi kekuasaan, maka kebangkitannya bukan mustahil. Ia bisa kembali menjadi partai rakyat, bukan sekadar partai penguasa.

Dan jika kata-kata Yulisman—“Golkar milik kita semua”—benar-benar dijalankan, maka pohon beringin itu akan kembali rindang: bukan karena tinggi batangnya, tetapi karena luas naungannya.

Penulis: Muammar Alkadafi adalah pemerhati sosial politik dan analis kebijakan publik di Riau. Ia mengajar di Program Studi Administrasi Negara, UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Pos terkait