Suaralangitnews.com – Sebagai bagian dari keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya merasa terpanggil untuk menyampaikan sebuah auto kritik terbuka terhadap sikap dan arah politik yang diperlihatkan oleh saudara Arif Rosyid Hasan—tokoh muda yang juga berasal dari rahim HMI.
Kritik ini lahir bukan karena perbedaan pilihan politik semata, tetapi karena adanya kecenderungan mengkerdilkan peran historis dan strategis HMI menjadi sekadar alat atau kendaraan untuk masuk ke satu partai politik tertentu, yaitu Golkar.
Narasi ini, entah disengaja atau tidak, justru mengabaikan fakta sejarah bahwa HMI telah melahirkan pemimpin bangsa dari berbagai spektrum ideologis, profesi, dan jalur perjuangan — bukan hanya politik, dan tentu bukan hanya satu partai.
Sebagai alumni, saya sangat memahami bahwa HMI bukan organisasi anti-politik. Sebaliknya, HMI mendorong kadernya untuk aktif dalam seluruh ruang sosial-politik bangsa. Namun HMI menolak upaya politisasi organisasi untuk kepentingan personal, apalagi menjadikan HMI sekadar batu loncatan menuju kekuasaan pragmatis.
“HMI bukan lorong sempit menuju satu partai. HMI adalah jembatan luas menuju pengabdian di seluruh lini kehidupan bangsa,” ujarnya Kamis (9/10/2025)
Pernyataan itu bukan slogan, tapi cermin sejarah. HMI pernah menjadi tempat tumbuhnya tokoh-tokoh besar: dari Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menggagas pembaruan pemikiran Islam, hingga Akbar Tanjung yang memainkan peran penting dalam reformasi.
Dari Anies Baswedan, Mahfud MD, Jusuf Kalla, hingga kader-kader muda yang kini memimpin inovasi di bidang pendidikan, sosial, teknologi, dan kewirausahaan.
Mengerdilkan peran HMI menjadi sekadar jalur politik menuju Golkar, atau partai manapun, berarti mengabaikan kedalaman nilai dan keragaman jalan perjuangan yang telah dibangun selama hampir delapan dekade.
Saya tidak menyampaikan kritik ini sebagai bentuk serangan pribadi. Justru sebaliknya, ini adalah panggilan untuk kembali kepada marwah organisasi. Auto kritik ini adalah bagian dari tradisi intelektual HMI: berani bercermin, berani mengoreksi, dan tetap berpihak pada kebenaran serta nilai.
Saya berharap, siapa pun yang hari ini berada dalam lingkar kekuasaan atau tengah meniti karier politik, tetap ingat: HMI bukan kendaraan politik, melainkan penjaga nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Organisasi ini terlalu besar untuk dibonsai demi ambisi pribadi siapa pun.
Saya menulis ini sebagai alumni yang masih percaya bahwa HMI harus terus hadir sebagai kekuatan moral dan intelektual bangsa — bukan sebagai perpanjangan tangan elit politik.
Fandi Ahmad
Alumni HMI Cabang Pekanbaru